Kontribusi devisa dari pelaut nasional mencapai Rp 16 triliun per tahun dari 78.000 pelaut yang bekerja di kapal-kapal luar negeri. Ini lebih besar dari kontribusi devisa para TKW (tenaga kerja wanita) yang hanya mencapai Rp 3,4 triliun," pernyataan tersebut disampaikan oleh Wahyu Satrio Utomo pada saat menjabat sebagai Sekretaris Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Perhubungan pada acara Forum Wartawan Perhubungan di Jakarta tanggal 22/3/2012.
Bisa kita bayangkan setelah 5 Tahun berjalan dengan bertambahnya jumlah Pelaut Indonesia maka devisa yang dihasilkan pun sudah lebih dari Rp. 16 Triliun pertahun. Namun sebagai penghasil devisa yang cukup besar bagi negara, profesi "Pelaut " masih belum mendapat perhatian, banyak kebijakan-kebijakan Pemerintah yang seharus sudah ditetapkan untuk kesejahteraan dan payung hukum bagi Pelaut Indonesia masih belum direalisasikan. Salahsatu kebijakan yang masih dinantikan oleh Pelaut Indonesia adalah " Ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 " . Sejak ditetapkan untuk diimplementasikan diseluruh dunia pada tanggal 20 Agustus 2013, Indonesia masih belum meratifikasi konvensi Internasional tersebut. Efek dari belum diratifikasinya MLC 2006 sangat merugikan dan menyulitkan Pelaut Indonesia maupun perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut (Manning Agent) untuk bisa bersaing didunia Internasional.
Selain belum diratifikasinya MLC 2006, sampai saat ini Pelaut yang bekerja dikapal-kapal domestik masih menunggu campur tangan pemerintah untuk menetapkan Standar Upah Minimum bagi pelaut yang bekerja diperairan Indonesia (Kapal-kapal Domestik), jika Pemerintah mau membuka mata, banyak Pelaut yang bekerja di perusahaan pelayaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang gajinya masih dibawah standar. Pelaut memang tidak segarang buruh yang bisa berdemo dan menuntut kenaikan upah, karena memang Pelaut dididik untuk menjadi insan yang disiplin dan profesional, karena untuk bisa mendapat gelar sebagai Pelaut harus melalui proses pelatihan dan sertifikasi yang kurikulumnya diadopsi dari regulasi-regulasi International Maritime Organization (IMO) yang untuk bisa mendapatkannya dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semoga tulisan yang singkat ini bisa membuka mata Pemerintah khususnya Bapak Presiden Jokowi dan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan untuk bisa lebih memperhatikan profesi "Pelaut" pahlawan devisa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://www.kompasiana.com/admarine/rp-16-triliun-per-tahun-sumbangan-devisa-pelaut-profesi-yang-di-anak-tirikan-negara
Bisa kita bayangkan setelah 5 Tahun berjalan dengan bertambahnya jumlah Pelaut Indonesia maka devisa yang dihasilkan pun sudah lebih dari Rp. 16 Triliun pertahun. Namun sebagai penghasil devisa yang cukup besar bagi negara, profesi "Pelaut " masih belum mendapat perhatian, banyak kebijakan-kebijakan Pemerintah yang seharus sudah ditetapkan untuk kesejahteraan dan payung hukum bagi Pelaut Indonesia masih belum direalisasikan. Salahsatu kebijakan yang masih dinantikan oleh Pelaut Indonesia adalah " Ratifikasi Maritime Labour Convention (MLC) 2006 " . Sejak ditetapkan untuk diimplementasikan diseluruh dunia pada tanggal 20 Agustus 2013, Indonesia masih belum meratifikasi konvensi Internasional tersebut. Efek dari belum diratifikasinya MLC 2006 sangat merugikan dan menyulitkan Pelaut Indonesia maupun perusahaan perekrutan dan penempatan pelaut (Manning Agent) untuk bisa bersaing didunia Internasional.
Selain belum diratifikasinya MLC 2006, sampai saat ini Pelaut yang bekerja dikapal-kapal domestik masih menunggu campur tangan pemerintah untuk menetapkan Standar Upah Minimum bagi pelaut yang bekerja diperairan Indonesia (Kapal-kapal Domestik), jika Pemerintah mau membuka mata, banyak Pelaut yang bekerja di perusahaan pelayaran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang gajinya masih dibawah standar. Pelaut memang tidak segarang buruh yang bisa berdemo dan menuntut kenaikan upah, karena memang Pelaut dididik untuk menjadi insan yang disiplin dan profesional, karena untuk bisa mendapat gelar sebagai Pelaut harus melalui proses pelatihan dan sertifikasi yang kurikulumnya diadopsi dari regulasi-regulasi International Maritime Organization (IMO) yang untuk bisa mendapatkannya dibutuhkan pengorbanan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semoga tulisan yang singkat ini bisa membuka mata Pemerintah khususnya Bapak Presiden Jokowi dan Menteri Perhubungan Ignatius Jonan untuk bisa lebih memperhatikan profesi "Pelaut" pahlawan devisa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber : http://www.kompasiana.com/admarine/rp-16-triliun-per-tahun-sumbangan-devisa-pelaut-profesi-yang-di-anak-tirikan-negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar