Setelah era Soeharto pasca 1998, tak ada
lagi kekuatan politik dominan. Siapa pun yang berkuasa harus berbagi.
Jika tidak, yang lain akan bersatu dan merongrong. Ketegasan dipelintir
menjadi anti-demokrasi. Oleh sebab itu organisasi ‘swadaya’ dibentuk
sebagai pasukan garis depan yang siap dikorbankan kapan saja tanpa harus
menyeret tuan-nya.Anda jangan berpikir Pemilihan Langsung
adalah hasil perjuangan demokrasi partai politik. Pemilihan Langsung
adalah jalan tengah agar semua parpol tetap memiliki posisi tawar.
Karena seperti tender pemerintahan, partai politik berkompetisi dengan
aturan yang tak tertulis.
Yang menang mendapat bagian terbesar namun yang kalah juga tetap dapat bagian. Jika ada yang tidak puas, gertakan dan gosip mulai muncul. Setelah tebusan dipenuhi, lambat laun issue itu pun menghilang.
Ini terjadi karena tidak ada sosok yang bersih di elite politik. Semua memegang kartu dosa yang lain. Untuk meredam gejolak sosial 250 juta rakyatnya, pegawai negeri juga dimanjakan. Akibatnya dana yang harusnya dinikmati rakyat untuk pembangunan, terpaksa dialokasikan untuk mengelola kepuasan para pemain politik.
Kadang ada tokoh yang bersih yang muncul dan lewat namun sistem politik tidak mengijinkan mereka masuk. Mereka hanya sebagai prestasi untuk menghibur rakyat. Jabatan pun tidak lah tinggi, jauh dari pusat kekuasaan dan dapat dihancurkan kapan saja. Lagipula, banyak yang hanya pencitraan, untuk komoditas politik karena dipercaya rakyat.
Tidak ada ceritanya sosok bersih mampu menerobos sistem politik Indonesia. Sampai sesuatu yang mustahil pun terjadi.
Seorang capres yang sebenarnya sudah No.1 di polling merasa galau. Karena sering menyaksikan akrobat politik, ia kuatir posisinya belum aman, apalagi catatan sejarah yang kelam. Dia harus melakukan sesuatu untuk merebut hati rakyat saat Pilpres nanti. Cara yang dahsyat dan instan adalah mendatangkan superstar yang bisa merebut hati rakyat.
Dan mukjizat itu pun terjadi. Seperti Indonesian Idol, tiba-tiba saja 2 putra terbaik bangsa muncul di panggung politik ibukota, pusat kekuasaan melewati semua filter politik yang ada. Tanpa capres tadi, mustahil mereka berdua dapat tampil.
Mengapa ini bisa terjadi? Mereka berdua dianggap ‘aman’. Jokowi adalah pengusaha, bukan sosok yang ambisius. Jadi Gub. Jateng saja PDIP tidak mendukungnya. Ahok apalagi. Triple minoritas Tionghoa-Kristen-Non.Jawa. Aman.
Jika kalah melawan koalisi raksasa di belakang Foke, rakyat yang tidak puas akan membalas dengan memilih capres tersebut di Pilpres nanti. Menang-kalah, sang capres tetap menang. Win-Win.
Ternyata Jokowi & Ahok menang. Rakyat Jakarta mencintai dua pemimpin baru ini. Sempurna. Semua berjalan sesuai rencana sang Capres. Hanya saja ternyata Jokowi & Ahok memiliki paduan keberanian, kecerdasan dan hati yang sampai saat ini, tidak bisa dibeli. Kompak lagi mereka berdua. Namun okelah, bisa apa sih dua orang melawan Pemprov Jakarta?
Para politikus Indonesia saat itu belum sadar siapa yang mereka hadapi.
Jokowi dan Ahok ternyata kreatif dan cerdas. Mereka memiliki strategi yang tidak di-mengerti para politikus yang hanya jago mengatur proyek dan deal.
Keresahan mulai terjadi. Dapur, bobrok Pemprov DKI satu-persatu dibuka dan ditelanjangi.
Dengan YouTube dan blusukan, pengaruh media politik tidak dapat lagi digunakan untuk menggiring opini. Keran yang deras mulai macet. Ancaman mulai terlihat.
Seperti biasa, pasukan kegelapan pun diturunkan. Namun hasilnya luar biasa. Siapa pun yang menyerang Jokowi Ahok pasti dihabisi rakyat. Parpol pun dilema. Mau melawan, Pemilu sudah dekat. Siapa pun yang bergerak mulai melawan, lawan politik nya lah yang menikmati.
Dukungan rakyat makin tak terbendung. Beribu sukarelawan muncul, menjadi corong di seluruh negeri yang mewartakan harapan baru. Bagaimana mungkin melawan relawan tak berbayar alias gratis? Pengaruh Jokowi-Ahok berkembang seperti virus. Jokowi-Ahok baru mulai bermunculan. Ditambah politikus yang ‘lebih bersih’ dengan jeli membaca situasi dan mengikuti gerbong. Tiba-tiba saja aturan permainan berubah. Terbalik. Parpol sekarang tidak powerful lagi. Pemilihan Langsung yang tadinya untuk berbagi kekuasaan menjadi ancaman mematikan.
Akhirnya tibalah saat itu. Ibu Mega tergerak dan melihat harapan baru, walaupun pahit karena bukan berasal dari trah Soekarno. PDIP mendukung Jokowi menjadi capres.
Namun elite politik masih melihat Jokowi sebagai salah satu dari mereka. Kasarnya, nanti nego-nego paling lebih mahal. Lagi-lagi mereka salah. Jokowi bukan pemain politik yang biasanya mereka hadapi. Amien Rais yang awalnya menggertak akhirnya mencoba memasangkan Jokowi dengan Hatta. ARB yang berpikir menjadi kunci Jokowi vs Prabowo juga kecele. Jokowi hanya mau ‘Tanpa Syarat’. Dia tidak mau disandera seperti SBY. (Catatan: Meskipun secara realitas, Tanpa Syarat itu tidak mungkin 100%, namun Jokowi memegang kontrol jauh melebihi SBY)
Kepanikan mencapai puncaknya. Untuk pertama kali, elite-elite yang merasa terancam bergabung dalam KMP. Mungkin anda bisa membayangkan sebesar apa kepanikan mereka sampai mau bergabung dengan lawan-lawan mereka sendiri. UU MD3 dalam hitungan hari dikebut untuk menghadang Jokowi nantinya.
Jokowi dan Ahok adalah ancaman besar bagi kekuatan jahat yang selama ini berkuasa di Indonesia. Eksekutif, Legislatif dan jajaran pemerintahan mengelola dana 1,850 Trilyun (APBN 2014) dan memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi market 8.600 Trilyun (GDP resmi tahunan 2014). Dana sebesar itu yang biasa di-manipulasi satu persatu dibuka ke publik secara transparan. Jika hal ini berlangsung terus, bisa dipastikan mereka tidak akan bisa mendapat bagian lagi.
Sekedar cerita, Ahok pernah mendapat tawaran dana sosial yang sangat besar dari para bos. Tetapi Ahok meminta mereka mengerjakan proyeknya sendiri karena.. bila masuk kas Pemprov bisa nunggu 3-tahun lagi sampai dana itu bisa digunakan. (itu pun kalo bisa). Saya bergidik membayangkan kengerian anak-anaknya saat melihat ribuan orang yang ingin menghabisi ayahnya. Semua itu hanya karena sang ayah mencintai Indonesia.
Di YouTube, saya melihat Presiden Indonesia yang kurus, tidak gagah & berwibawa ala SBY. Dengan bahasa Inggris seadanya, terbata-bata dia berusaha mencari pendanaan Luar Negeri karena sadar tidak bisa mengandalkan dana APBN yang harus melewati KMP.
Jika ada yang masih menuduh Jokowi pencitraan atau mempermasalahkan ‘santun’-nya Ahok, mungkin memang itulah karakter bangsa ini.
Salam Indonesia Raya!
sumber : http://www.ceritanews.com